Senin, 06 September 2010

Kursus Ruang Sejarah Kritis



Menguak Historiografi Indonesia


Pendahuluan
Pada saat ini, sejarah diminati bukan karena ia menceritakan peristiwa lampau, tetapi justru karena dapat menggambarkan situasi saat ini dengan perantara narasi peristiwa lampau. Pada saat yang sama, sebenarnya mempelajari sejarah yakni menaksir jejaring peristiwa masa depan dengan fakta bacaan masa kini tersebut.
Ruang pengetahuan bagi masyarakat saat ini sudah menjadi kebutuhan mendesak. Demikian halnya dengan pengetahuan tentang sejarah bangsanya sendiri. Ketika reformasi menjadi sebuah era, kebebasan berpendapat dilapangkan. Sejarawan juga mencoba berfikir kritis untuk melihat ulang narasi sejarah penguasa. Sejarah yang enggan ditulis pada dulunya, saat ini coba dituliskan (alternative). Penulisan sejarah lokal masyarakat juga semakin marak dikerjakan. Maka, pada saat ini, bermuncullah narasi sejarah yang lebih banyak perspektif.
Kalau dihitung sejak 1998, kelapangan itu sudah 12 tahun dihirup oleh bangsa Indonesia. Demikian juga pada intelektual Indonesia bebas menulis sejarah sesuai perspektif masing-masing. Persoalan yang mengemuka yakni apakah pekerjaan menyebarkan narasi sejarah telah selesai? Jawabannya; Belum. Mengapa? Karena masih saja ada kekuatan-kekuatan negara ataupun barikade-barikade sipil yang bertindak kontra-demokrasi ataupun anti keberagaman, dalam konteks ini: keberagaman narasi sejarah.
Di sisi lain, selama 12 tahun itu juga, kita jarang sekali menelaah ulang ataupun melakukan otokritik atas karya-karya yang dikerjakan. Kritikan yang kritis selayaknya dilayangkan ke narasi sejarah baik era pra reformasi maupun saat ini. Karena semua tahu bahwa narasi sejarah tidak pernah final, setidaknya karena sejarawan tidak mungkin menyajikan kemutlakan sejumlah fakta sejarah. Jika ada fakta baru, bolehlah ada pengajuan narasi baru atas hal yang sama. Narasi yang diajukan perlu disadari merupakan hasil pembacaan orang atas fakta. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana seharusnya membaca sejarah melalui bacaan orang atas fakta sejarah?
Saat ini perlu ada semacam ruang belajar untuk melihat ulang apa yang kita lihat sebagai sejarah, dan apa yang kita baca sebagai narasi sejarah. Untuk itu dalam menanggapi fakta yang ada, Citralekha bekerjasama dengan Multiculture Campus Realino menyelenggarakan pendidikan alternatif “Ruang Kajian Sejarah Kritis: Menguak Historiografi Indonesia”.

Tujuan

  1. Ruang Sejarah Kritis ini diselenggarakan untuk mengkaji, mengkritisi dan mempertanyakan kembali Historiografi Indonesia.
  2. Untuk meningkatkan kemampuan para peminat sejarah dalam penulisan sejarah.
  3. Menanamkan kesadaran dan kebanggaan sejarah bangsa Indonesia


Hasil
Kualitas historiografi sejarawan yang semakin berbobot dan baik
Munculnya komunitas pecinta penulisan sejarah yang hidup dan berkelanjutan

Sasaran
Mahasiswa,Guru. dosen, wartawan, LSM, penulis dan peneliti sejarah dan masyarakat umum

Konsep
Kursus ini diselenggarakan secara rutin, dengan berbagai materi, pengajar, metode belajar dan perlengkapan teknis yang berkualitas dan berkompeten.
Kursus bersifat kontekstual dan berbasis dialog (sharing) Pengetahuan.

Pengajar
Pengajar yang dipilih adalah berdasarkan kompetensi, otoritas dan popularitas terhadap bidangnya. Mengingat di Yogyakarta sendiri memiliki banyak penulis yang handal, maka pengajar tersebut diambil dari wilayah ini.


 Kurikulum Ruang Sejarah Kritis


1.Jumat, 22 Oktober 2010
Pengantar Perspektif Sejarah kritis di Indonesia
Dr. Baskara T Wardaya (Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma)

2.Jumat, 29 Oktober 2010
Ham dalam Sejarah
Prof. Dr. Martino Sardi (Pusat Studi HAM dan Demokrasi Universitas Atmajaya Yogyakarta)

3.Jumat, 5 November 2010
Pelurusan Sejarah Indonesia
Dr. Anton Haryono, M.Hum (Staf Pengajar Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

4.Jumat, 12 November 2010
Dekonstruksi Historiografi Indonesia
Prof. Dr. Bambang Purwanto (Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada)

5.Jumat, 19 November 2010
Historiografi Pendidikan dan Pendidikan Historiografi
Prof. Dr. Suhartono (Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada)*

* dalam konfirmasi

Sesi  tambahan
Jumat, 26 November 2010
Penulisan Sejarah dan Dinamika Penerbitan
Tim penerbitan Buku

Metode pengajaran
Pembelajaran ini dilakukan setiap minggu sekali pada beberapa kali pertemuan. Metode yang digunakan adalah belajar dalam kelas yang aktif dan dinamis, yaitu dengan diskusi, presentasi, dinamika kelompok, praktek menulis dan sebagainya.

Waktu dan Tempat
Kursus diadakan pada setiap jumat sore jam 16.00-18.00 WIB (max peserta 50 orang), tempat pembelajaran dilaksanakan di ruang Multiculture Campus Realino (MCR).

Biaya
Penyelenggaraan kursus ini bersifat swadaya, untuk itu setiap peserta dikenakan biaya sebesar:
Mahasiswa S2 dan Umum :Rp. 300.000,00
Mahasiswa S1 dan Guru :Rp. 200.000,00 (dengan menunjukan kartu identitas yang berlaku)

Fasilitas
Sertifikat, Blocknote + alat tulis, materi, snack +minuman, Magang di Multiculture Campus Realino**, ruang belajar nyaman, ber-AC dan parkir yang luas

**syarat dan ketentuan berlaku


Informasi Kursus
Sekretariat Citralekha
D/A Multiculture Campus Realino (MCR)
Kompleks Lembaga Studi Realino - Universitas Sanata DharmaYogyakarta
Jl. Affandi – Gejayan, Mrican, Yogyakarta
CP: Agus (085296630671), Krisna (085729233101).

Jumat, 03 September 2010

Materi 5. Historiografi Pendidikan dan Pendidikan Historiografi (Pengajar: Prof. Dr. Suhartono)


PENGANTAR

Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diceritakan kembali dengan dasar bukti-bukti. Jadi, sejarawan bertugas merekonstruksi konstruksi peristiwa masa lalu. Dalam sejarah kritis, ketaatan terhadap bukti dan metode menjadi hal mutlak. Dan itu masih dianut dan menjadi keharusan dalam studi sejarah di berbagai universitas di dunia. Tetapi, karena saat ini sejarah bukanlah konsumsi akademisi saja, melainkan konsumsi masyarakat luas, maka kepentingan atas sejarah kritis adalah kepentingan seluruh segi sosial terutama masyarakat.

Namun, sejarah kritis yang kami maksud dalam surat ini sedikit berlainan dengan makna tersebut. Meski sejarawan taat terhadap bukti dan metode, senyatanya proses kerja sejarawan tidaklah bebas nilai. Mengapa demikian? Karena sejarah bekerja pada wilayah manusia, artinya yang dilihat adalah masa lalu manusia di mana ideologi, politik, kekuasaan / kepentingan selalu menjadi kodrati manusia dalam dunia. Usaha mempertahankan ataupun menghancurkan ideologi, politik, kekuasaan / kepentingan, selalu ada dalam kehidupan. Jikalau demikian, maka narasi sejarah berpeluang besar untuk menjadi media dalam hal ini.

Indonesia memiliki pengalaman selama ini bagaimana nilai kekuasaan dari negara berperan besar dalam narasi sejarah yang dibuat. Sehingga narasi lain yang tidak sesuai akan disirnakan, sejarawannya dibungkam. Era reformasi 12 tahun terakhir, bangsa ini telah mencoba mengembangkan demokrasi nir otoriter. Sehingga kebebasan berpendapat termasuk pendapat narasi sejarah dijamin. Maka muncullah narasi-narasi alternatif selain milik negara. Memang kebebasan tersebut secara legal dijamin negara, namun dalam prakteknya, negara masih membatasi dengan aparat-aparatnya. Selain itu, kekuatan sipil kontra-demokrasi juga menghalang-halangi apa yang tidak sesuai dengan mereka.

Keberagaman narasi sejarah tersebut mendapatkan respon positif di satu sisi, namun di sisi lain memberikan tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan kita. Guru sejarah menjadi belajar bagaimana mengajarkan sejarah tidak hanya berdasar pada teks buku semata. Artinya, belajar sejarah adalah belajar tentang pertimbagan-pertimbangan keputusan peristiwa masa lalu. Jadi tidak soal tanggal dan apa yang terjadi. Banyak faedah yang ada dalam narasi sejarah yang dapat diberikan pada generasi muda di bangku sekolah ataupun kuliah. Sebuah pembekalan yang sangat berguna misalnya tentang proyeksi kepemimpinan nasional. Sejarah berusaha memproyeksikan kebelakang cita-cita masa sekarang, salah satunya misalnya perhatian besar raja-raja pada kesehateraan rakyat. Selain itu, proyeksi bagaimana pemimpin disimbolkan sebagai pribadi raja yang kuat, berpendirian, dan tegas dalam mengambil keputusan. Proyeksi yang belum kita temui pada realitas kenegaraan kita sekarang.

Yang hilang dari dunia sejarah saat ini adalah media pendidikan yang diharapkan menjadi referensi utama atas perilaku-perilaku berbangsa dan bernegara kini. Kegelisahan ini merupakan representasi kegelisahan masyarakat. Bagaimana menjamin ketersediaannya narasi sejarah yang dapat menjadi sarana referensi bertindak bagi masyarakat? Salah satu jalan adalah memeriksa kembali narasi-narasi sejarah serta di balik narasi-narasi tersebut untuk selanjutnya menjadi pemahaman masyarakat luas. Pemeriksaan tersebut kami sebut berada dalam Ruang Sejarah Kritis.

PELAKSANAAN

Hari / Tgl    :  Jumat, 19 November 2010
Pukul         :  16.00-18.00
Tempat      :  Multiculture Campus Realino
                    Kompleks Lembaga Studi Realino
                    Mrican, Yogyakarta
Pengajar    :  Prof. Dr. Suhartono
                    (Guru Besar Sejarah Unviersitas Gajah Mada)

Materi 4. Dekonstruksi Historiografi Indonesia (Pengajar: Prof. Dr. Bambang Purwanto)

PENGANTAR

Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diceritakan kembali dengan dasar bukti-bukti. Jadi, sejarawan bertugas merekonstruksi konstruksi peristiwa masa lalu. Dalam sejarah kritis, ketaatan terhadap bukti dan metode menjadi hal mutlak. Dan itu masih dianut dan menjadi keharusan dalam studi sejarah di berbagai universitas di dunia. Tetapi, karena saat ini sejarah bukanlah konsumsi akademisi saja, melainkan konsumsi masyarakat luas, maka kepentingan atas sejarah kritis adalah kepentingan seluruh segi sosial terutama masyarakat.

Namun, sejarah kritis yang kami maksud dalam surat ini sedikit berlainan dengan makna tersebut. Meski sejarawan taat terhadap bukti dan metode, senyatanya proses kerja sejarawan tidaklah bebas nilai. Mengapa demikian? Karena sejarah bekerja pada wilayah manusia, artinya yang dilihat adalah masa lalu manusia di mana ideologi, politik, kekuasaan/kepentingan selalu menjadi kodrati manusia dalam dunia. Usaha mempertahankan ataupun menghancurkan ideologi, politik, kekuasaan / kepentingan selalu ada dalam kehidupan. Jikalau demikian, maka narasi sejarah berpeluang besar untuk menjadi media dalam hal ini.

Pada sisi lain, justru sejarah terjebak pada penarasian kisah manusia super yang berideologi, berpolitik, dan berkepentingan. Imbasnya, sejarah hanya berbicara manusia besar dengan kisah besar dan perilaku yang terkesan bermuatan hal-hal besar misal ideologi, kepentingan, dan lain-lain. Pada saat yang sama, sejarah orang kecil dengan kisah kecil dan perilaku sehari-hari tidak pernah dinarasikan. Satu segi dekonstruksi sejarah adalah melihat kembali historiografi yang ada dan memeriksa dan menarasikan sejarah-sejarah yang belum ternarasikan.

Jika sejarah bukan semata kebutuhan akademisi, melainkan yang utama adalah kebutuhan masyarakat luas, maka sejarah hendaknya menarasikan kehidupan masyarakat luas. Demikian, sejarah dapat menarasikan perjalanan manusia secara alami sehingga dapat memberikan inspirasi yang berdaya guna bagi kehidupan manusia demi hal kebaikan kini dan masa datang. Kegelisahan ini merupakan representasi kegelisahan masyarakat. Bagaimana menjamin ketersediaannya narasi sejarah yang seperti itu bagi masyarakat? Salah satu jalan adalah memeriksa kembali narasi-narasi sejarah serta di balik narasi-narasi tersebut untuk selanjutnya menjadi pemahaman masyarakat luas. Pemeriksaan tersebut kami sebut berada dalam Ruang Sejarah Kritis.

PELAKSANAAN

Hari / Tgl      :  Jumat, 12 November 2010
Pukul            :  16.00-18.00
Tempat         :  Multiculture Campus Realino
                       Kompleks Lembaga Studi Realino
                       Mrican, Yogyakarta
Pengajar       :  Prof. Dr. Bambang Purwanto
                       (Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada)

Materi 3. HAM dan Sejarah (Pengajar: Prof. Dr. Martino Sardi)


PENGANTAR

Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diceritakan kembali dengan dasar bukti-bukti. Jadi, sejarawan bertugas merekonstruksi konstruksi peristiwa masa lalu. Dalam sejarah kritis, ketaatan terhadap bukti dan metode menjadi hal mutlak. Dan itu masih dianut dan menjadi keharusan dalam studi sejarah di berbagai universitas di dunia. Tetapi, karena saat ini sejarah bukanlah konsumsi akademisi saja, melainkan konsumsi masyarakat luas, maka kepentingan atas sejarah kritis adalah kepentingan seluruh segi sosial terutama masyarakat.

Namun, sejarah kritis yang kami maksud dalam surat ini sedikit berlainan dengan makna tersebut. Meski sejarawan taat terhadap bukti dan metode, senyatanya proses kerja sejarawan tidaklah bebas nilai. Mengapa demikian? Karena sejarah bekerja pada wilayah manusia, artinya yang dilihat adalah masa lalu manusia di mana ideologi, politik, kekuasaan/kepentingan selalu menjadi kodrati manusia dalam dunia. Usaha mempertahankan ataupun menghancurkan ideologi, politik, kekuasaan / kepentingan selalu ada dalam kehidupan. Jikalau demikian, maka narasi sejarah berpeluang besar untuk menjadi media dalam hal ini.

Indonesia memiliki pengalaman selama ini bagaimana nilai kekuasaan dari negara berperan besar dalam narasi sejarah yang dibuat. Sehingga narasi lain yang tidak sesuai akan disirnakan, sejarawannya dibungkam. Era reformasi 12 tahun terakhir, bangsa ini telah mencoba mengembangkan demokrasi nir otoriter. Sehingga kebebasan berpendapat termasuk pendapat narasi sejarah dijamin. Maka muncullah narasi-narasi sejarah yang menyuarakan pihak-pihak yang selama ini terpinggirkan, yang selama ini mendapatkan perilaku tidak hal, yang selama ini terlanggar hak asasi manusianya.

Hak asasi manusia dan narasi sejarah nampaknya bagai dua irisan yang berhubungan. Narasi sejarah dapat menjadi semacam pledoi bagai korban-korban pelanggaran HAM masa lalu. Demikian juga, narasi sejarah tidak menutup kemungkinan dapat juga menjadi musuh dari perjuangan HAM itu sendiri. Demikian, sehingga narasi sejarah tidak bebas nilai. Sebagai pledoi, ia memuat nilai-nilai perjuangan kemanusiaan, perjuangan penegakan HAM. Sebagai kontra perjuangan HAM, ia memuat nilai-nilai kekuasaan yang anti kemanusiaan.

Kegelisahan kami merupakan representasi kegelisahan masyarakat. Masyarakat menginginkan narasi sejarah yang memberikan pembelajaran kehidupan di mana nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi sekaligus memperjuangkan apa yang disebut hak asasi manusia dan memenuhi keadilan publik. Bagaimana menjamin ketersediaannya narasi sejarah yang seperti itu bagi masyarakat? Salah satu jalan adalah memeriksa kembali narasi-narasi sejarah serta di balik narasi-narasi tersebut untuk selanjutnya menjadi pemahaman masyarakat luas. Pemeriksaan tersebut kami sebut berada dalam Ruang Sejarah Kritis

PELAKSANAAN

Hari / Tgl     :  Jumat, 05 November 2010
Pukul          :  16.00-18.00
Tempat       :  Multiculture Campus Realino
                     Kompleks Lembaga Studi Realino
                     Mrican, Yogyakarta.
Pengajar     :  Prof. Dr. Martino Sardi
                     (Kepala Pusat Studi HAM dan Demokrasi UAJY)

Materi 2. Pelurusan Sejarah Indonesia (Pengajar: Dr. Anton Haryono, M.Hum)

PENGANTAR

Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diceritakan kembali dengan dasar bukti-bukti. Jadi, sejarawan bertugas merekonstruksi konstruksi peristiwa masa lalu. Dalam sejarah kritis, ketaatan terhadap bukti dan metode menjadi hal mutlak. Dan itu masih dianut dan menjadi keharusan dalam studi sejarah di berbagai universitas di dunia. Tetapi, karena saat ini sejarah bukanlah konsumsi akademisi saja, melainkan konsumsi masyarakat luas, maka kepentingan atas sejarah kritis adalah kepentingan seluruh segi sosial terutama masyarakat.

Namun, sejarah kritis yang kami maksud dalam surat ini sedikit berlainan dengan makna tersebut. Meski sejarawan taat terhadap bukti dan metode, senyatanya proses kerja sejarawan tidaklah bebas nilai. Mengapa demikian? Karena sejarah bekerja pada wilayah manusia, artinya yang dilihat adalah masa lalu manusia di mana ideologi, politik, kekuasaan/kepentingan selalu menjadi kodrati manusia dalam dunia. Usaha mempertahankan ataupun menghancurkan ideologi, politik, kekuasaan/kepentingan, selalu ada dalam kehidupan. Jikalau demikian, maka narasi sejarah berpeluang besar untuk menjadi media dalam hal ini.

Indonesia memiliki pengalaman selama ini bagaimana nilai kekuasaan dari negara berperan besar dalam narasi sejarah yang dibuat. Sehingga narasi lain yang tidak sesuai akan disirnakan, sejarawannya dibungkam. Era reformasi 12 tahun terakhir, bangsa ini telah mencoba mengembangkan demokrasi nir otoriter. Sehingga kebebasan berpendapat termasuk pendapat narasi sejarah dijamin. Maka muncullah narasi-narasi alternatif selain milik negara. Pada gilirannya, ada sebagian kalangan menyebut sejarah alternatif sebagai usaha pelurusan sejarah Indonesia. Kita dapat mengambil contoh misalnya Dr. Asvi Warman Adam yang menulis sejarah bergenre korban. Asvi sering berujar bahwa usahanya adalah meluruskan sejarah Indonesia yang selama ini dibelokan atau didominasi oleh negara.

Istilah pelurusan sejarah sempat menjadi perdebatan ramai dikalangan sejarawan. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan istilah tersebut. Masing-masing punya alasan. Yang pro menyatakan bahwa telah terjadi pembelokan sejarah sehingga harus diluruskan. Yang kontra berpendapat bahwa selama dapat memunculkan bukti baru, maka sejarah dapat diperbaharui. Toh, masing-masing memiliki perspektifnya sendiri. Tetapi pro kontra tersebut tidak merubah posisi bahwa narasi sejarah tidak pernah final, sehingga terbuka selalu peluang pembuatan narasi baru, dengan atau tanpa istilah pelurusan sejarah. Dengan begitu, maka akan muncul apa yang disebut dialog sejarah, dialog kemanusiaan.

Kegelisahan kami merupakan representasi kegelisahan masyarakat. Masyarakat menginginkan narasi sejarah yang memberikan pembelajaran kehidupan. Bagaimana menjamin ketersediaannya narasi sejarah yang seperti itu bagi masyarakat? Salah satu jalan adalah memeriksa kembali narasi-narasi sejarah serta di balik narasi-narasi tersebut untuk selanjutnya menjadi pemahaman masyarakat luas. Pemeriksaan tersebut kami sebut berada dalam Ruang Sejarah Kritis.

PELAKSANAAN

Hari / Tgl   :  Jumat, 29 Oktober 2010
Pukul         :  16.00-18.00
Tempat      :  Multiculture Campus Realino
                    Kompleks Lembaga Studi Realino
                    Mrican, Yogyakarta.
Pengajar    :  Dr. Anton Haryono, M.Hum.
                    (Staf Pengajar Universitas Sanata Dharma)

Materi 1. Pengantar Perspektif Sejarah Indonesia (Pengajar: Dr. FX. Baskara T. Wardaya)


PENGANTAR


Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diceritakan kembali dengan dasar bukti-bukti. Jadi, sejarawan bertugas merekonstruksi konstruksi peristiwa masa lalu. Dalam sejarah kritis, ketaatan terhadap bukti dan metode menjadi hal mutlak. Dan itu masih dianut dan menjadi keharusan dalam studi sejarah di berbagai universitas di dunia. Tetapi, karena saat ini sejarah bukanlah konsumsi akademisi saja, melainkan konsumsi masyarakat luas, maka kepentingan atas sejarah kritis adalah kepentingan seluruh segi sosial terutama masyarakat.

Namun, sejarah kritis yang kami maksud dalam surat ini sedikit berlainan dengan makna tersebut. Meski sejarawan taat terhadap bukti dan metode, senyatanya proses kerja sejarawan tidaklah bebas nilai. Mengapa demikian? Karena sejarah bekerja pada wilayah manusia, artinya yang dilihat adalah masa lalu manusia di mana ideologi, politik, kekuasaan/kepentingan selalu menjadi kodrati manusia dalam dunia. Usaha mempertahankan ataupun menghancurkan ideologi, politik, kekuasaan/kepentingan, selalu ada dalam kehidupan. Jikalau demikian, maka narasi sejarah berpeluang besar untuk menjadi media dalam hal ini.

Indonesia memiliki pengalaman selama ini bagaimana nilai kekuasaan dari negara berperan besar dalam narasi sejarah yang dibuat. Sehingga narasi lain yang tidak sesuai akan disirnakan, sejarawannya dibungkam. Era reformasi 12 tahun terakhir, bangsa ini telah mencoba mengembangkan demokrasi nir otoriter. Sehingga kebebasan berpendapat termasuk pendapat narasi sejarah dijamin. Maka muncullah narasi-narasi alternatif selain milik negara. Memang kebebasan tersebut secara legal dijamin negara, namun dalam prakteknya, negara masih membatasi dengan aparat-aparatnya. Selain itu, kekuatan sipil kontra-demokrasi juga menghalang-halangi apa yang tidak sesuai dengan mereka.

Sehingga sangat perlu untuk terus memperjuangkan apa yang disebut kebebasan berpendapat. Dalam historiografi atau narasi sejarah, seharusnya tidak ada lagi pembatasan, pelarangan, apalagi pembakaran buku dan karya sejarah yang kebetulan berbeda dengan penguasa atau barikade sipil kontra-demokrasi. Perjuangan mengembangkan dan menyebarkan ide kebebasan dan selalu kritis dalam narasi sejarah perlu untuk terus dilakukan. Kepada pemerintah selalu kritis, kepada masyarakat terus memberikan pendidikan kritis.

Adakah harapan bahwa kondisi ini akan teratasi? Bagaimana menjamin ketersediaan narasi sejarah obyektif bagi masyarakat luas? Salah satu jalan adalah memeriksa kembali narasi-narasi sejarah serta di balik narasi-narasi tersebut untuk selanjutnya menjadi pemahaman masyarakat luas. Pemeriksaan tersebut kami sebut berada dalam Ruang Sejarah Kritis. 



PELAKSANAAN

Hari / Tgl     :  Jum'at, 22 Oktober 2010
Pukul          :  16.00 - 18.00 WIB
Tempat       :  Ruang Multiculture Campus Realino,
                     Kompleks Lembaga Studi Realino,
                     Mrican, Yogyakarta.
Pengajar     :  Dr. FX. Baskara T. Wardaya
                    ( Direktur PUSdEP, Pengajar Pascasarjana USD)